JAKARTA, KOMPAS.TV - Pandemi Covid-19 di Indonesia makin rumit dikendalikan. Sadar atau sengaja abai, grafik jumlah pasien positif covid masih agresif naik.
Fakta harus diterima, dua orang pertama positif di awal Maret adalah peristiwa, tetapi ledakan jumlah pasien positif berubah jadi statistik.
Apakah kurva menanjak ini jadi bom waktu, bagi titik ledak kapasitas rumah sakit? Kami telusuri lewat data.
Tersengat dari sebuah peristiwa di awal Maret, berubah menjadi grafik statistik, lalu menjelma sebagai fenomena gunung es, pandemi Covid-19 di Indonesia adalah amukan dalam senyap.
Permasalahan yang nampak, seakan tak sebesar yang sebenarnya. Buktinya, mudah menemukan masyarakat yang berlomba pamer ketidakpedulian, jumawa tanpa memakai masker di tempat umum.
Kebebalan berlanjut, pandemi menjemput. Angka positif per 23 Agustus bertambah 2.032 kasus. Membuat total masyarakat yang terinfeksi menggunung di 153.535 orang.
Ketenangan semu dibalut istilah "Orang Tanpa Gejala". Bagaimana dengan yang kekebalannya payah? Satu yang pasti, tempat tidur rumah sakit rujukan, dipastikan makin sempit.
Mengutip Ikatan Dokter Indonesia alias IDI, ketersediaan kapasitas tampung pasien covid Indonesia sudah lampu kuning. Tanpa antisipasi berarti, bom waktu tak lama lagi meledak.
Di DKI Jakarta, kapasitas terisi sudah 48 persen, atau tersisa 2.500 kasur saja. Kondisi paling parah adalah Papua, dengan tingkat okupansi 94 persen dan tersisa 27 tempat tidur.
Saat ini memang belum penuh. Tetapi sisa tempat isolasi hanya untuk 1.500an orang, dan ruang ICU tersedia, tinggal untuk 145 orang.
Jakarta adalah zona hitam covid. Sebab, rata-rata tingkat posisitf hariannya mencapai 8,5 persen. Melebihi batas aman WHO di 5 persen.
Satgas IDI memproyeksikan, Indonesia akan menghadapi situasi yang lebih berbahaya pada September mendatang.