KOMPAS.TV - Terobosan komunikasi publik harus terus dilakukan demi meningkatkan pemahaman masyarakat atas bahaya Covid-19.
Sudah saatnya, komunikasi krisis tidak hanya mengandalkan perangkat organ pemerintah, tapi juga pemimpin informal dengan pendekatan budaya, agama, bahasa, atau muatan lokal yang lebih dekat dengan keseharian masyarakat.
Untuk memerangi hoaks atas pandemi Covid-19, dalam pengajian bulanan PP Muhammadiyah Jumat lalu, ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir mengatakan, pandemi ini bukan ilusi, bukan konspirasi, tetapi realitas objektif yang dihadapi bukan hanya bangsa Indonesia, tapi oleh seluruh bangsa di berbagai negara.
Komunikasi dari pemimpin informal semacam inilah yang harus diperbanyak, menyesuaikan dengan adat dan tata cara kehidupan masyarakat, sehingga jangkauan komunikasi krisis bisa lebih luas.
Makin beragamnya komunikasi publik dengan berbagai pendekatan, makin banyak pula ekspos masyarakat atas risiko Covid-19, sehingga bisa memaksa warga memahami bahayanya.
Dan kini, ketika sudah ada penelitian awal bahwa virus Covid-19 bisa mengambang di udara dalam situasi ruangan tertentu, strategi komunikasi juga mesti bergerak lebih maju lagi.
Ambil tindakan preventif, jangan sampai kita baru panik ketika sudah menemukan bukti di negeri sendiri, bahwa covid-19 bisa menular melalui udara.
Komunikasi krisis yang baik membangun persepsi risiko yang memadai, dan persepsi risiko yang memadai jadi dasar kesadaran warga untuk berdisiplin.